ANTROPOLOGI KESEHATAN DAN SOSIAL BUDAYA
“ PERILAKU KESEHATAN DI KABUPATEN BOYOLALI ”
Disusun oleh :
Septiana Indah Nugraheni
STIKES BETHESDA YAKKUM
YOGYAKARTA
Tahun 2014
Pengkajian Topik Antropologi Kesehatan
Prilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, system pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan. Bentuk dari perilaku tersebut ada dua yaitu pasif dan aktif. Perilaku pasif merupakan respon internal dan hanya dapat dilihat oleh diri sendiri sedangkan perilaku aktif dapat dilihat oleh orang lain.
Prilaku kesehatan yang terjadi di kabupaten Boyolali diantaranya adalah sebagai berikut :
Prilaku negative masyarakat
1. Masih banyak bahkan sebagian besar masyarakat yang tidak peduli dengan kebersihan lingkungan terbukti dari masih banyaknya sungai yang menjadi tempat pembuangan sampah sementara air sungai juga digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti mandi dan menyuci baju masyarakat sekitar.
solusi :
pemberian paparan tentang kesehatan dan peringatan akan bahaya yang akan di timbulkan dari prilaku tersebut.
2. Belum maksimalnya pengolahan sampah dan limbah pabrik.
solusi :
diberikan pendidikan tentang pengolahan sampah yang benar agar tidak menyebabkan pencemaran lingkungan yang berkelanjutan dan berdampak negative terhadap kesehatan.
3. Banyak masyarakat yang lebih memilih untuk mengonsumsi bahan makanan yang instan disbanding dengan memasak sayur atau masakan tradisional lainnya.
solusi :
kembali melestarikan makannan teradisional yang sehat dan pengolahan yang benar sehingga lebih menarik dan masyarakat dapat beralih ke makanan sehat yang dapat diperoleh dari hasil pertanian, atau perkebunanan sendiri.
4. Banyaknya lahan perkebunan yang dijadikan perumahan sehingga mengakibatkan berkurangnya sumber oksigen dari tumbuh-tumbuhan yang semula dijadikan paru-paru di daerah tersebut.
solusi :
pemberian tanaman pada polibeg sehingga tetap ada produsen oksigen berupa tumbuhan yang ditanam dalam pot untuk rumah yang tidak memiliki lahan yang luas.
5. Banyaknya pabrik yang berdiri yang masih tidak memenuhi standar dalam pengolahan limbahnya.
solusi :
pemberitahuan atau teguran pada pabrik agar dapat mengolah limbahnya dengan baik sehingga tidak menimbulkan pencemaran lingkungan yang berdampak pada kesehatan masyarakat sekitarnya.
6. Antraks merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan Bacillus anthracis yang dapat menyerang hewan dan manusia. Potensi ancaman penularan antraks pada manusia didukung oleh faktor lingkungan, faktor perilaku dan faktor pelayanan kesehatan. Boyolali merupakan salah satu wilayah endemis antraks. Desa Karangmojo merupakan wilayah yang ditemukan antraks pada manusia. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi antraks pada manusia di desa Karangmojo. Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif. Subyek penelitian sebanyak 13 dari 16 penderita antraks dipilih dengan teknik pusposive sample untuk dibagi dalam kelompok diskusi terarah dan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan Kecamatan Klego merupakan jalur perdagangan ternak antar daerah yang menuju Pasar Hewan Karanggede. Subyek penelitian tergolong usia dewasa dan usia anak-anak. Semua subyek penelitian berpendidikan rendah dan sebagian besar bekerja sebagai petani yang memelihara sapi. Faktor lingkungan yang mempengaruhi antraks pada manusia adalah keadaan lingkungan tempat tinggal yang berlantaikan tanah, kebiasaan subyek penelitian yang menyembelih hewan di dalam kandang dan mencuci hasil penyembelihan di sungai, karena ditemukan penularan yang disebabkan kontak dengan air sungai dan diperkuat adanya luka pada kulit yang mempermudah penularan antraks pada manusia. Faktor perilaku yang mempengaruhi antraks pada manusia adalah kebiasaan kontak dengan ternak tanpa memakai alat pelindung diri, kebiasaan menyembelih hewan sakit dan didukung tidak melakukan PHBS secara benar. Perilaku konsumsi daging tidak mempengaruhi antraks kulit karena diolah dengan pemanasan tinggi. Tidak adanya penyuluhan antraks yang dapat mempengaruhi pemahaman mengenai antraks dan tidak adanya vaksinasi antraks untuk ternak dapat mempengaruhi penularan antraks.
solusi :
pemberitahuan dan penyuluhan pada masyarakat agar tidak terjadinya penyebaran ataupun penambahan penderita antraks.
7. Diare masih merupakan penyebab penting kematian bayi dan balita di Indonesia. Telah dipelajari persepsi masyarakat tentang diare serta cara penanggulangannya di desa Manyaran dan Sempulur Boyolali sebagai bahan untuk penanggulangan diare oleh masyarakat. Diare tidak dianggap sebagai penyakit yang terlalu serius. Menurut masyarakat, penyebab diare ada yang langsung terhadap anak yaitu masuk angin, terlalu lama mandi, makan makanan rasa asam (kecut), dan tidak langsung bila ibu menyusui masuk angin atau makan makanan yang pedas-pedas, air susu menjadi jelek dan anak menderita mencret. Tidak ada kepercayaan bahwa diare disebabkan oleh roh halus. Persepsi masyarakat/ibu-ibu tentang diare dan penyebabnya menghasilkan perilaku pengobatan diare pada anak sebagai berikut: Mula-mula ditangani sendiri dengan ramuan tradisional, bila tidak sembuh diobati dengan pil "Ciba" yang dijual bebas di warung-warung yang tersebar di desa, bila tetap belum sembuh baru di bawa ke petugas kesehatan
solusi :
merubah kebiasaan masyarakat dalam menjaga kesehatan keluarga seperti membiasakan mencuci tangan dan makan-makanan yang lebih baik.
Prilaku positif masyarakat
1. Kesadaran para ibu-ibu yang memiliki anak atau batita, dan balita untuk membawa ke pos yandu secara rutin.
2. Terbukanya masyarakat terhadap informasi kesehatan yang ada untuk meningkatkan drajat kesehatan dirinya atau individu, kelompok, dan masyarakat.
3. Setiap anggota keluarga mulai mengerti dan menerapkan system atau program KB untuk kesehatan reproduksi.
4. Penggunaan wc bukan sungai untuk buang air
5. Membuang sampah pada tempat yang sudah disediakan dan dipilah sesuai jenis bahannya. dll
Konsep Sehat - Sakit
Keadaan sehat dan sakit pada prinsipnya mempengaruhi perilakunya. Orang dituntut melakukan peran-peran tertentu sesuai dengan keadaannya, sehat atau sakit. Peran yang harus dilakukan oleh seseorang sesuai dengan keadaan sehat dan sakit itu disebut health and sick roles. Orang yang sehat dituntut untuk melakukan peran-peran tertentu dan bertanggung jawab terhadap diri dan orang lain. Sementara orang yang sakit dituntut untuk berperan sebagai orang yang sakit, dibebaskan dari tanggung jawab normalnya, bahkan tidak perlu bertanggung jawab terhadap diri dan orang lain.
Orang yang sakit secara fisik maupun mental sama-sama memiliki perilaku dan peran sakit. Orang yang mengalami skizoprenia, depresi atau gangguan mental lainnya dibebaskan dari kewajibannya bekerja, atau menjalankan tugas-tugas rutin keluarganya, sama halnya dengan orang yang menderita sakit jantung misalnya. Justru kewajiban mereka adalah beristirahat atau mencari kesembuhan melalui cara-cara yang dapat diterima secara pribadi maupun kultural.
Ada beberapa teori mengenai perilaku sehat dan perilaku sakit:
Menurut Solita Sarwono(1993) yang dimaksud dengan perilaku sakit adalah segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh individu yang sedang sakit agar memperoleh kesembuhan.
Menurut Suchman perilaku sakit adalah tindakan untuk menghilangkan rasa tidak enak atau rasa sakit sebagai akibat dari timbulnya gejala tertentu. Sedangkan perilaku sehat adalah tindakan yang dilakukan individu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk pencegahan penyakit, perawatan kebersihan diri, dan penjagaan kebugaran melalui olahraga dan makanan bergizi.
Menurut Kasl dan Cobb, perilaku sakit adalah aktivitas apapun yang dilakukan oleh individu yang merasa sakit, untuk mendefenisikan keadaan kesehatannya dan untuk menemukan pengobatan mandiri yang tepat. Perilaku sehat adalah suatu aktivitas dilakukan oleh individu yang menyakini dirinya sehat untuk tujuan mencegah penyakit atau mendeteksinya dalam tahap asimptomatik.
A. PERILAKU SEHAT
Becker(1979) menguraikan bahwa perilaku sehat ini mencakup:
Makan dengan menu seimbang (appropriate diet). Menu seimbang di sini dalam arti kualitas (mengandung zat-zat gizi yang diperlukan tubuh), dan kuantitas dalam arti jumlahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh (tidak kurang, tetapi juga tidak lebih).
Secara kualitas mungkin di Indonesia dikenal dengan ungkapan empat sehat lima sempurna.
Olahraga teratur, yang juga mencakup kualitas (gerakan), dan kuantitas dalam arti frekuensi dan waktu yang digunakan untuk olahraga. Dengan sendirinya kedua aspek ini akan tergantung dari usia, dan status kesehatan yang bersangkutan.
Tidak merokok. Merokok adalah kebiasan jelek yang mengakibatkan berbagai macam penyakit. Ironinya kebiasaan merokok ini, khususnya di Indonesia seolah-olah sudah membudaya. Hampir 50% penduduk Indonesia usia dewasa merokok. Bahkan dari hasil suatu penelitian, sekitar 15% remaja kita telah merokok. Inilah tantangan pendidikan kesehatan kita.
Tidak minum minuman keras dan narkoba. Kebiasaan minum miras dan mengkonsumsi narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya lainnya, juga cenderung meningkat. Sekitar 1% penduduk Indonesia dewasa diperkirakan sudah mempunyai kebiasaan minum miras ini.
Istirahat cukup. Dengan meningkatkan kebutuhan hidup akibat tuntutan untuk penyesuaian dengan lingkungan modern, mengharuskan orang untuk bekerja dan berlebihan, sehingga kurang waktu istirahat. Hal ini juga dapat membahayakan kesehatan.
Mengendalikan stress. Stress akan terjadi pada siapa saja, dan akibatnya bermacam-macam bagi kesehatan. Lebih-lebih sebagai akibat dari tuntunan hidup yang keras seperti diuraikan di atas. Kecenderungan stress akan meningkat pada setiap orang. Stress tidak dapat kita hindari, maka yang penting agar stress tidak menyebabkan gangguan kesehatan, kita harus dapat mengendalikan atau mengelola stress dengan kegiatan-kegiatan yang positif.
Perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan, misalnya: tidak berganti-ganti pasangan dalam hubungan seks, penyesuaian diri kita dengan lingkungan, dan sebagainya.
Perubahan Perilaku Orang Sehat
Konflik adalah suatu keadaan yang timbul sebagai akibat adanya dua atau lebih keinginan, kondisi atau dorongan yang tidak harmonis. Terdapat tiga jenis konflik, yaitu :
Approach-approach conflict, adalah konflik yang terjadi apabila keinginan, kondisi atau dorongan yang ada, sama-sama dikehendaki dan akibatnya positif.
Contoh :
Seorang anak lulusan SMU dengan NEM yang tinggi, mengikuti ujian UMPTN dan Sipensimaru Akper. Ternyata kedua-duanya dinyatakan lulus dan diterima. Dalam memilih mana yang akan dimasuki, pasti dalam dirinya timbul dorongan yang bertentangan, namun keduanya positif.
Avoidance-avoidance conflict, adalah konflik yang terjadi apabila semua keinginan, kondisi, dan dorongan yang ada sama-sama tidak dikehendaki, dan bersifat negatif. Peribahasa mengatakan “ibarat makan buah simalakama”.
Contoh:
Seorang penderita Ca Mamae yang disarankan untuk operasi. Padahal penyakit tersebut apabila dioperasi belum menjamin kesembuhan karena sampai saat ini belum ditemukan obatnya. Bila tidak dioperasi penderitaan yang dirasakan berkepanjangan.
Approach-avoidance conflict, adalah konflik yang terjadi apabila keinginan, kondisi, dan dorongan yang dikehendaki mengandung resiko positif dan negatif yang seimbang.
Contoh:
Seorang peserta Sipensimaru JPT (Jenjang Pendidikan Tinggi), diterima sebagai mahasiswa D-III keperawatan (positif), namun disisi lain keadaan sosial ekonomi orang tua untuk membiayai tidak memungkinkan (negatif).
Frustrasi, adalah suatu keadaan yang terjadi akibat konflik berkepanjangan atau tidak terselesaikan atau ada perasaan kecewa berat karena tujuan yang dicita-citakan tidak tercapai.
Marah, apabila frustrasi yang dialami oleh seorang individu tidak dapat dikelola dengan baik, akan timbul perilaku mudah marah.
B. PERILAKU SAKIT
Perilaku sakit merupakan perilaku orang sakit yang meliputi: cara seseorang memantau tubuhnya; mendefinisikan dan menginterpretasikan gejala yang dialami; melakukan upaya penyembuhan; dan penggunaan sistem pelayanan kesehatan.
Seorang individu yang merasa dirinya sedang sakit, perilaku sakit bisa berfungsi sebagai mekanisme koping.
Menurut Parsons, perilaku spesifik yang tampak bila seseorang memilih peran sebagai orang sakit , yaitu orang sakit tidak dapat disalahkan sejak mulai sakit, dikecualikan dari tanggung jawab pekerjaan, sosial dan pribadi, kemudian orang sakit dan keluarganya diharapkan mencari pertolongan agar cepat sembuh.
Menurut Cockerham, meskipun konsep Parsons tersebut tidak berguna untuk memahami peran sebagai orang sakit, namun tidak terlalu tepat untuk: menerangkan variasi perilaku sakit, dipakai pada penyakit kronis, keadaan dan situasi yang mempengaruhi hubungan pasien-dokter, atau untuk menerangkan perilaku sakit masyarakat kelas bawah. Juga menurut Meile, konsep Parsons tersebut tidak cocok dipakai pada orang sakit jiwa.
Penyebab Perilaku Sakit
Menurut Mechanic sebagaimana diuraikan oleh Solito Sarwono (1993) bahwa penyebab perilaku sakit itu sebagai berikut :
1. Dikenal dan dirasakannya tanda dan gejala yang menyimpang dari keadaan normal.
2. Anggapan adanya gejala serius yang dapat menimbulkan bahaya.
3. Gejala penyakit dirasakan akan menimbulkan dampak terhadap hubungan keluarga, hubungan kerja, dan kegiatan kemasyarakatan.
4. Frekuensi dan persisten (terus-menerus, menetap) tanda dan gejala yang dapat dilihat.
5. Kemungkinan individu untuk terserang penyakit.
6. Adanya informasi, pengetahuan, dan anggapan budaya tentang penyakit.
7. Adanya perbedaan interpretasi tentang gejala penyakit.
8. Adanya kebutuhan untuk mengatasi gejala penyakit.
9. Tersedianya berbagai sarana pelayanan kesehatan, seperti: fasilitas , tenaga, obat-obatan, biaya, dan transportasi.
Menurut Sri Kusmiyati dan Desmaniarti (1990), terdapat 7 perilaku orang sakit yang dapat diamati, yaitu:
Fearfullness (merasa ketakutan), umumnya individu yang sedang sakit memiliki perasaan takut. Bentuk ketakutannya, meliputi takut penyakitnya tidak sembuh, takut mati, takut mengalami kecacatan, dan takut tidak mendapat pengakuan dari lingkungan sehingga merasa diisolasi.
Regresi, salah satu perasaan yang timbul pada orang sakit adalah ansietas (kecemasan). Untuk mengatasi kecemasan tersebut, salah satu caranya adalah dengan regresi (menarik diri) dari lingkungannya.
Egosentris, mengandung arti bahwa perilaku individu yang sakit banyak mempersoalkan tentang dirinya sendiri. Perilaku egosentris, ditandai dengan hal-hal berikut:
Hanya ingin menceritakan penyakitnya yang sedang diderita.
Tidak ingin mendengarkan persoalan orang lain.
Hanya memikirkan penyakitnya sendiri.
Senang mengisolasi dirinya baik dari keluarga, lingkungan maupun
kegiatan.
Terlalu memperhatikan persoalan kecil, yaitu perilaku individu yang sakit dengan melebih-lebihkan persoalan kecil. Akibatnya pasien menjadi cerewet, banyak menuntut, dan banyak mengeluh tentang masalah sepele.
Reaksi emosional tinggi, yaitu perilaku individu yang sakit ditandai dengan sangat sensitif terhadap hal-hal remeh sehingga menyebabkan reaksi emosional tinggi.
Perubahan perpepsi terhadap orang lain, karena beberapa faktor diatas, seorang penderita sering mengalami perubahan persepsi terhadap orang lain.
Berkurangnya minat, individu yang menderita sakit di samping memiliki rasa cemas juga kadang-kadang timbul stress. Faktor psikologis inilah salah satu sebab berkurangnya minat sehingga ia tidak mempunyai perhatian terhadap segala sesuatu yang ada di lingkungannya. Berkurangnya minat terutama kurangnya perhatian terhadap sesuatu yang dalam keadaan normal ia tertarik atau berminat terhadap sesuatu.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Sakit
Faktor Internal
a. Persepsi individu terhadap gejala dan sifat sakit yang dialami
Klien akan segera mencari pertolongan jika gejala tersebut dapat mengganggu rutinitas kegiatan sehari-hari.
Misal: Tukang Kayu yang menderitas sakit punggung, jika ia merasa hal tersebut bisa membahayakan dan mengancam kehidupannya maka ia akan segera mencari bantuan.
Akan tetapi persepsi seperti itu dapat pula mempunyai akibat yang sebaliknya. Bisa saja orang yang takut mengalami sakit yang serius, akan bereaksi dengan cara menyangkalnya dan tidak mau mencari bantuan.
b. Asal atau Jenis penyakit
Pada penyakit akut dimana gejala relatif singkat dan berat serta mungkin mengganggu fungsi pada seluruh dimensi yang ada, Maka klien bisanya akan segera mencari pertolongan dan mematuhi program terapi yang diberikan.
Sedangkan pada penyakit kronik biasany berlangsung lama (>6 bulan) sehingga jelas dapat mengganggu fungsi diseluruh dimensi yang ada. Jika penyakit kronik itu tidak dapat disembuhkan dan terapi yang diberikan hanya menghilangkan sebagian gejala yang ada, maka klien mungkin tidak akan termotivasi untuk memenuhi rencana terapi yang ada.
Faktor Eksternal
a. Gejala yang Dapat Dilihat
Gajala yang terlihat dari suatu penyakit dapat mempengaruhi Citra Tubuh dan Perilaku Sakit.
Misalnya: orang yang mengalami bibir kering dan pecah-pecah mungkin akan lebih cepat mencari pertolongan dari pada orang dengan serak tenggorokan, karena mungkin komentar orang lain terhadap gejala bibir pecah-pecah yang dialaminya.
b. Kelompok Sosial
Kelompok sosial klien akan membantu mengenali ancaman penyakit, atau justru meyangkal potensi terjadinya suatu penyakit.
Misalnya: Ada 2 orang wanita, sebut saja Ny. A dan Ny.B berusia 35 tahun yang berasal dari dua kelompok sosial yang berbeda telah menemukan adanya benjolan pada Payudaranya saat melakukan SADARI. Kemudian mereka mendisukusikannya dengan temannya masing-masing. Teman Ny. A mungkin akan mendorong mencari pengobatan untuk menentukan apakah perlu dibiopsi atau tidak; sedangkan teman Ny. B mungkin akan mengatakan itu hanyalah benjolan biasa dan tidak perlu diperiksakan ke dokter.
c. Latar Belakang Budaya
Latar belakang budaya dan etik mengajarkan sesorang bagaimana menjadi sehat, mengenal penyakit, dan menjadi sakit. Dengan demikian perawat perlu memahami latar belakang budaya yang dimiliki klien.
d. Ekonomi
Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang biasanya ia akan lebih cepat tanggap terhadap gejala penyakit yang ia rasakan. Sehingga ia akan segera mencari pertolongan ketika merasa ada gangguan pada kesehatannya.
e. Kemudahan Akses Terhadap Sistem Pelayanan
Dekatnya jarak klien dengan RS, klinik atau tempat pelayanan medis lain sering mempengaruhi kecepatan mereka dalam memasuki sistem pelayanan kesehatan.
Demikian pula beberapa klien enggan mencari pelayanan yang kompleks dan besar dan mereka lebih suka untuk mengunjungi Puskesmas yang tidak membutuhkan prosedur yang rumit.
f. Dukungan Sosial
Dukungan sosial disini meliputi beberapa institusi atau perkumpulan yang bersifat peningkatan kesehatan. Di institusi tersebut dapat dilakukan berbagai kegiatan, seperti seminar kesehatan, pendidikan dan pelatihan kesehatan, latihan (aerobik, senam POCO-POCO dll).
Juga menyediakan fasilitas olehraga seperti, kolam renang, lapangan Bola Basket, Lapangan Sepak Bola, dll.
Tahap-tahap Perilaku Sakit
Tahap I (Mengalami Gejala)
Pada tahap ini pasien menyadari bahwa ”ada sesuatu yang salah ”
Mereka mengenali sensasi atau keterbatasan fungsi fisik tetapi belum menduga adanya diagnosa tertentu.
Persepsi individu terhadap suatu gejala meliputi: (a) kesadaran terhadap perubahan fisik (nyeri, benjolan, dll); (b) evaluasi terhadap perubahan yang terjadi dan memutuskan apakah hal tersebut merupakan suatu gejala penyakit; (c) respon emosional.
Jika gejala itu dianggap merupakan suatu gejal penyakit dan dapat mengancam kehidupannya maka ia akan segera mencari pertolongan.
Tahap II (Asumsi Tentang Peran Sakit)
Terjadi jika gejala menetap atau semakin berat
Orang yang sakit akan melakukan konfirmasi kepada keluarga, orang terdekat atau kelompok sosialnya bahwa ia benar-benar sakit sehingga harus diistirahatkan dari kewajiban normalnya dan dari harapan terhadap perannya.
Menimbulkan perubahan emosional spt : menarik diri/depresi, dan juga perubahan fisik. Perubahan emosional yang terjadi bisa kompleks atau sederhana tergantung beratnya penyakit, tingkat ketidakmampuan, dan perkiraan lama sakit.
Seseorang awalnya menyangkal pentingnya intervensi dari pelayanan kesehatan, sehingga ia menunda kontak dengan sistem pelayanan kesehatan à akan tetapi jika gejala itu menetap dan semakin memberat maka ia akan segera melakukan kontak dengan sistem pelayanan kesehatan dan berubah menjadi seorang klien.
Tahap III (Kontak dengan Pelayanan Kesehatan)
Pada tahap ini klien mencari kepastian penyakit dan pengobatan dari seorang ahli, mencari penjelasan mengenai gejala yang dirasakan, penyebab penyakit, dan implikasi penyakit terhadap kesehatan dimasa yang akan datang
Profesi kesehatan mungkin akan menentukan bahwa mereka tidak menderita suatu penyakit atau justru menyatakan jika mereka menderita penyakit yang bisa mengancam kehidupannya. à klien bisa menerima atau menyangkal diagnosa tersebut.
Bila klien menerima diagnosa mereka akan mematuhi rencan pengobatan yang telah ditentukan, akan tetapi jika menyangkal mereka mungkin akan mencari sistem pelayanan kesehatan lain, atau berkonsultasi dengan beberapa pemberi pelayanan kesehatan lain sampai mereka menemukan orang yang membuat diagnosa sesuai dengan keinginannya atau sampai mereka menerima diagnosa awal yang telah ditetapkan.
Klien yang merasa sakit, tapi dinyatakan sehat oleh profesi kesehatan, mungkin ia akan mengunjungi profesi kesehatan lain sampai ia memperoleh diagnosa yang diinginkan
Klien yang sejak awal didiagnosa penyakit tertentu, terutama yang mengancam kelangsungan hidup, ia akan mencari profesi kesehatan lain untuk meyakinkan bahwa kesehatan atau kehidupan mereka tidak terancam. Misalnya: klien yang didiagnosa mengidap kanker, maka ia akan mengunjungi beberapa dokter sebagai usaha klien menghindari diagnosa yang sebenarnya.
Tahap IV (Peran Klien Dependen)
Pada tahap ini klien menerima keadaan sakitnya, sehingga klien bergantung pada pada pemberi pelayanan kesehatan untuk menghilangkan gejala yang ada.
Klien menerima perawatan, simpati, atau perlindungan dari berbagai tuntutan dan stress hidupnya.
Secara sosial klien diperbolehkan untuk bebas dari kewajiban dan tugas normalnya à semakin parah sakitnya, semakin bebas.
Pada tahap ini klien juga harus menyesuaikanny dengan perubahan jadwal sehari-hari. Perubahan ini jelas akan mempengaruhi peran klien di tempat ia bekerja, rumah maupun masyarakat.
Tahap V (Pemulihan dan Rehabilitasi)
Merupakan tahap akhir dari perilaku sakit, dan dapat terjadi secara tiba-tiba, misalnya penurunan demam.
Penyembuhan yang tidak cepat, menyebabkan seorang klien butuh perawatan lebih lama sebelum kembali ke fungsi optimal, misalnya pada penyakit kronis.
Tidak semua klien melewati tahapan yang ada, dan tidak setiap klien melewatinya dengan kecepatan atau dengan sikap yang sama. Pemahaman terhadap tahapan perilaku sakit akan membantu perawat dalam mengidentifikasi perubahan-perubahan perilaku sakit klien dan bersama-sama klien membuat rencana perawatan yang efektif
Dampak Sakit
Terhadap Perilaku dan Emosi Klien
Setiap orang memiliki reaksi yang berbeda-beda tergantung pada asal penyakit, reaksi orang lain terhadap penyakit yang dideritanya, dan lain-lain.
Penyakit dengan jangka waktu yang singkat dan tidak mengancam kehidupannya akan menimbulkan sedikit perubahan perilaku dalam fungsi klien dan keluarga. Misalnya seorang Ayah yang mengalami demam, mungkin akan mengalami penurunan tenaga atau kesabaran untuk menghabiskan waktunya dalam kegiatan keluarga dan mungkin akan menjadi mudah marah, dan lebih memilih menyendiri.
Sedangkan penyakit berat, apalagi jika mengancam kehidupannya.dapat menimbulkan perubahan emosi dan perilaku yang lebih luas, seperti ansietas, syok, penolakan, marah, dan menarikd diri.
Perawat berperan dalam mengembangkan koping klien dan keluarga terhadap stress, karena stressor sendiri tidak bisa dihilangkan.
Terhadap Peran Keluarga
Setiap orang memiliki peran dalam kehidupannya, seperti pencari nafkah, pengambil keputusan, seorang profesional, atau sebagai orang tua. Saat mengalami penyakit, peran-peran klien tersebut dapat mengalami perubahan.
Perubahan tersebut mungkin tidak terlihat dan berlangsung singkat atau terlihat secara drastis dan berlangsung lama. Individu / keluarga lebih mudah beradaftasi dengan perubahan yang berlangsung singkat dan tidak terlihat.
Perubahan jangka pendek à klien tidak mengalami tahap penyesuaian yang berkepanjangan. Akan tetapi pada perubahan jangka penjang à klien memerlukan proses penyesuaian yang sama dengan ’Tahap Berduka’.
Peran perawat adalah melibatkan keluarga dalam pembuatan rencana keperawatan.
Terhadap Citra Tubuh
Citra tubuh merupakan konsep subjektif seseorang terhadap penampilan fisiknya. Beberapa penyakit dapat menimbulkan perubahan dalam penampilan fisiknya, dan klien/keluarga akan bereaksi dengan cara yang berbeda-beda terhadap perubahan tersebut.
Reaksi klien/keluarga etrhadap perubahan gambaran tubuh itu tergantung pada:
♣ Jenis Perubahan (mis: kehilangan tangan, alat indera tertentu, atau organ tertentu)
♣ Kapasitas adaptasi
♣ Kecepatan perubahan
♣ Dukungan yang tersedia.
Terhadap Konsep Diri
Konsep Diri adalah citra mental seseorang terhadap dirinya sendiri, mencakup bagaimana mereka melihat kekuatan dan kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya.
Konsep diri tidak hanya bergantung pada gambaran tubuh dan peran yang dimilikinya tetapi juga bergantung pada aspek psikologis dan spiritual diri.
Perubahan konsep diri akibat sakit mungkin bersifat kompleks dan kurang bisa terobservasi dibandingkan perubahan peran.
Konsep diri berperan penting dalam hubungan seseorang dengan anggota keluarganya yang lain. Klien yang mengalami perubahan konsep diri karena sakitnya mungkin tidak mampu lagi memenuhi harapan keluarganya, yang akhirnya menimbulkan ketegangan dan konflik. Akibatnya anggiota keluarga akan merubah interaksi mereka dengan klien.
Misal: Klien tidak lagi terlibat dalam proses pengambilan keputusan dikeluarga atau tidak akan merasa mampu memberi dukungan emosi pada anggota keluarganya yang lain atau kepada teman-temannya à klien akan merasa kehilangan fungsi sosialnya.
Perawat seharusnya mampu mengobservasi perubahan konsep diri klien, dengan mengembangkan rencana perawatan yann membantu mereka menyesuaikan diri dengan akibat dan kondisi yang dialami klien.
Terhadap Dinamika Keluarga
Dinamika Keluarga meruapakan proses dimana keluarga melakukan fungsi, mengambil keputusan, memberi dukungan kepada anggota keluarganya, dan melakukan koping terhadap perubahan dan tantangan hidup sehari-hari.
Misal: jika salah satu orang tua sakit maka kegiatan dan pengambilan keputusan akan tertunda sampai mereka sembuh.
Jika penyakitnya berkepanjangan, seringkali keluarga harus membuat pola fungsi yang baru sehingga bisa menimbulkan stress emosional.
Misal: anak kecil akan mengalami rasa kehilangan yang besar jika salah satu orang tuanya tidak mampu memberikan kasih sayang dan rasa aman pada mereka. Atau jika anaknya sudah dewasa maka seringkali ia harus menggantikan peran mereka sebagai mereka termasuk kalau perlu sebagai pencari nafkah.